Harus aku beri judul apa untuk perjalanan kali ini?
Perjalanan ke Sindoro bukan hanya tentang lelah dan kesenangan semata,
perjalanan ini perjalanan hati. Berangkat dari Jogja-Wonosobo memakan waktu
kurang lebih 3 jam. Perjalanan yang lumayan melelahkan karena disambut oleh
hujan deras. Hujan boleh turun dengan semaunya, tapi perjalanan akan terus
berlanjut. Sesampai di basecamp, aku dan tim memilih untuk beristirahat di balai
pertemuan desa yang disulap menjadi tempat tidur dan tempat parkir motor. Besok
pagi kami akan mendaki, perjalanan Jogja-Wonosobo sudah lumayan berat meskipun
relatif singkat.
Keesokan harinya kami mendaki, ternyata perjalanan dari
basecamp menuju pos 1 cukup jauh. Pendaki dapat memilih: menggunakan ojek atau
berjalan kaki. Jika menggunakan ojek, pendaki harus membayar Rp 15.000. Mengingat
minimnya ongkos, kami akhirnya memilih berjalan kaki. Lagi pula masih banyak
waktu untuk dihabiskan di Sindoro. Perjalanan panjang melelahkan seperti
biasanya terjadi lagi. Satu-satunya hal yang harus dilakukan yaitu
menikmatinya. Di tengah perjalanan, kami bertemu empat orang pendaki dari
Bekasi. Aku pribadi selalu punya prinsip bahwa disetiap pendakian akan selalu
mendapatkan teman baru dan bahkan keluarga baru. Kali ini kami mendapatkan
teman baru, sepanjang pendakian kami habiskan bersama dari pos 2 hingga mencari
tempat untuk ngecamp.
Kami tidak kenal tapi berusaha saling mengenal. Kami tidak
sapa tapi saling menyapa. Itu lah indahnya sebuah perjalanan. Bukan hanya
tentang destinasi yang indah yang akan dituju, tetapi juga tentang orang-orang
yang melakukan perjalanan bersamamu. Puncak gunung menjadi sangat dekat jika
berjalan bersama.
Perjalanan ini tentang kedamaian dan keindahan. Diantara rasa
lelahnya badan tersimpan keindahan yang sangat luar biasa hasil lukisan Tuhan.
Diantara rasa lelahnya hati tersimpan kedamaian yang diam-diam ingin berbicara.
Barisan Gunung Sumbing, Merbabu dan Merapi tampak mempesona. Sebuah perjalanan
harus dapat menciptakan senyum dan tawa, itu yang coba aku pahami dari
perjalanan kali ini. Pada akhirnya semua senyum dan tawa dapat menciptakan
kebahagiaan.
Perjalanan Sindoro semakin berkesan dikala kami harus
menolong seorang pendaki perempuan yang lututnya tergeser saat turun dari
Sindoro. Beberapa orang mungkin berpikir ini hal yang biasa, tapi tidak bagi
seorang pendaki. Kaki adalah aset yang penting bagi pendaki. Perempuan ini
harus ditandu karena kakinya yang sakit. Tapi usaha membuat tandu gagal total,
akhirnya kami membuka tenda karena cuaca yang semakin malam dan dingin.
Beruntungnya, rescue sedang dalam perjalanan untuk menjemput korban. Kebetulan
salah satu dari kami mendapatkan sinyal. Perjalanan masih sangat panjang dan
untuk menyelesaikan perjalanan ini bukan hanya tentang kaki, tetapi juga
tentang hati. Bukan tentang seberapa besar pengorbanan kami untuk menolong,
tetapi seberapa tulus kami untuk menolong. Dengan keadaan perut kelaparan dan
minimnya persediaan air tidak membuat kami mengurungkan niat untuk menolong. Ini
lah yang disebut tulus, menolong orang lain tanpa mengenal latar belakang,
menolong orang lain tanpa mengenal tempat dan kondisi. Aku berada pada tim yang
benar, bersama orang-orang yang hatinya tulus. Lalu, akan aku beri judul apa
perjalanan kali ini?
Tapi yang aku pahami, Sindoro membuatku jatuh cinta begitu
dalam pada alam. Sindoro membuatku mengerti betapa pentingnya seorang teman.
Sindoro membuatku betapa kita harus selalu bersyukur. Sindoro membuatku belajar
cara tersenyum dan tertawa bahagia. Sindoro membuatku tahu bagaimana menolong
dengan tulus. Perjalanan ini adalah perjalanan bagi mereka yang ingin belajar
menjadi tulus.
|
Gunung Sumbing dari kaki Gunung Sindoro |
|
Kawah Gunung Sindoro |
|
Saatnya kembali ke tenda |
|
Edelweiss di Sindoro sudah mulai langka |
|
Menunggu rescue datang |
|
Sahabat pendakian |
|
Menikmati belerang di puncak Sindoro |
|
Barisan Gunung Sumbing-Merbabu-Merapi dari atas Sindoro |
Comments
Post a Comment