Saya bosan bercerita tentang destinasi,
saya ingin bercerita tentang diri saya yang menurut orang lain gila. Bermula
dari tawaran seorang teman pendaki untuk naik ke Rinjani, akhirnya saya
memutuskan untuk ikut. Saya sedang menuju jalur pendakian Bremi, Gunung
Argopuro ketika seorang teman menawari saya untuk berangkat. “Ada teman saya
namanya Andec dari Tulung Agung yang mau naik Rinjani, kamu mau ikut?” tawar
Tania. Tentu saja saya tidak menolak. Rinjani itu impian saya. Akhirnya saya
meminta teman saya untuk mencari tiket pesawat tujuan Surabaya – Lombok.
Saya sama sekali belum melakukan latihan
fisik ketika hendak berangkat menuju Surabaya. Saya pikir pemanasan di Argopuro
sudah lumayan berat, berat dalam artian Argopuro berhasil membuat kaki saya
lecet dan melepuh karena jalur panjangnya. Berangkat ke Surabaya tanpa kenal
siapapun itu menjadi hal biasa ketika kamu bawa uang yang banyak untuk
traveling. Tapi saya tidak kenal satu orang pun dan hanya bermodalkan rupiah
yang sangat minim.
Saya akan tinggal di Pastoran Karmel
(tempat tinggal pembuka agama Katolik) yang ada di Surabaya. Di sini saya akan
menumpang gratis dan dijemput oleh seorang penjaga pastoran bernama Mas Ambon.
Di sini juga saya dan Andec akan bertemu. Tapi bencana sedang menghadapi
keluarga teman baru yang belum saya kenal tersebut. Ibu nya harus di opname
karena sakit. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak berangkat demi Ibu nya, tentu
saja dengan resiko saya akan pergi sendirian.
Berangkat sendiri? Saya berusaha
memberanikan diri. Di Lombok tidak ada yang saya kenal, tapi ada satu sahabat saya yang sedang bekerja di Lombok. Namun Andec sudah menitipkan
saya kepada Satria temannya yang ada di Lombok untuk menjemput saya. Katanya,
saya bisa tinggal di rumah Satria atau di pastoran yang ada di Lombok.
Mas Ambon mengantarku ke terminal
Purabaya dan menyuruhku naik Damri menuju bandara, karena beliau tidak paham
jalan menuju bandara.
“Mau ke bandara mbak? Pesawat apa?” tanya
seorang sopir Damri.
“Naik Air A*ia pak.”
Akhirnya naik lah saya menuju terminal
Juanda Surabaya. Berhubung saya beli tiket online, saya memutuskan berangkat 2
jam sebelum keberangkatan untuk mengambil tiket di counter. Bandara Juanda
membuat saya pusing, saya bingung ini mal atau bandara, maklum saya baru kali
ini ke bandara Juanda. Saya lebih sering nongkrong di terminal Purabaya
dibandingkan di sini. Maklum anak gunung, mau nya yang irit.
Sampai bandara saya dengan percaya diri
menuju counter untuk menukar tiket.
Pelayan meminta saya menyebut kode boking. Pelayannya ketus dan menyebalkan. Tambah ketus ketika kode boking yang saya sebut dua kali tidak keluar
juga.
“Mbak, boleh saya pinjam hp nya?” saya memberi hp saya tanpa bicara. “Ini Li*n Air mbak bukan Air A*ia.”
Gubrak. Saya melihat kembali email yang masuk, ternyata benar saya yang salah lihat.
“Maaf ya mbak, mata saya minus, lupa bawa kacamata,” kataku beralibi. Ini masalah malunya bukan masalah mata minusnya. “Counter Li*n Air di mana ya mbak?” tanyaku masih tidak paham. Bukannya lebih baik bertanya dari pada sesat di jalan ya?
“Mbak, boleh saya pinjam hp nya?” saya memberi hp saya tanpa bicara. “Ini Li*n Air mbak bukan Air A*ia.”
Gubrak. Saya melihat kembali email yang masuk, ternyata benar saya yang salah lihat.
“Maaf ya mbak, mata saya minus, lupa bawa kacamata,” kataku beralibi. Ini masalah malunya bukan masalah mata minusnya. “Counter Li*n Air di mana ya mbak?” tanyaku masih tidak paham. Bukannya lebih baik bertanya dari pada sesat di jalan ya?
“Silakan mbak ke sebelah,” jawab pelayan
ketus.
Lupakan kejadian di counter sebelah. Tambah masalah ketika pelayan Li*n Air mengatakan, “Mbak, nanti berangkatnya gak lewat sini ya, tapi lewat terminal 1.”
Lupakan kejadian di counter sebelah. Tambah masalah ketika pelayan Li*n Air mengatakan, “Mbak, nanti berangkatnya gak lewat sini ya, tapi lewat terminal 1.”
“Terminal 1 nya di mana mbak?”
“Di sebelah sana mbak?” kata pelayan
sembari menunjuk arah kanannya.
Dengan carrier raksasa yang ada
dipunggung semakin membuat saya kesulitan dalam bergerak. Pesawat berangkat jam 4, sekarang sudah setengah 3, masih ada banyak waktu. Saya punya
kebiasaan ketinggalan pesawat, ini yang membuat saya kadang takut naik pesawat.
Bukan masalah harga tiket yang mahal tapi masalah malunya. Jika sampai
ketinggalan, maka ini yang ketiga kalinya. Saya tidak mau dibully cuman
gara-gara ketinggalan pesawat lagi.
Ketinggalan pesawat itu bisa menjadi
trauma berkepanjangan, makanya sekarang jika ke bandara saya akan datang 2 atau
3 jam sebelum keberangkatan. Saya pernah ketinggalan pesawat dari bandara
Rahadi Oesman, Kabupaten Ketapang menuju Supadio, Pontianak hanya gara-gara main
tab. Check in udah lama, tapi saya masih menunggu di luar. Alhasil koper saya
lebih dulu berangkat dari pada pemiliknya. Kedua kali nya, dari Jogja menuju
Jakarta, waktu itu saya akan mengisi acara tarian di Istora Senayan. Tentu saja
saya harus beli tiket lagi dan berangkat malam harinya. Makanya saya tidak mau
mengulangi kesalahan yang sama.
Kembali ke perjalanan kali ini, akhirnya
saya memutuskan menuju ke arah yang ditunjuk oleh pelayan. Ternyata setelah
saya tanya pada petugas bandara dari terminal 2 ke terminal 1 harus menggunakan
Damri. Setelah masuk Damri akhirnya saya merasa pintar karena tidak memutuskan
untuk jalan kaki ke terminal 1. Ternyata dari terminal 2 ke terminal 1 ditempuh
sekitar kurang lebih 20 menit. Waktu masih aman. Saya langsung memutuskan untuk
check in. Nafas saya masih ngos-ngosan, efek trauma masih terasa. Walau waktu
aman tapi semuanya belum pasti. Tentu saja belum pasti, tempat check in Li*n
Air nya banyak, tulisannya kecil, saya tidak bawa kacamata. Masalah baru pun muncul.
Akhirnya, saya ditolong sama perempuan yang saya tabrak di depan pintu masuk, namanya Hera. “Kakak pendaki ya?” tanyanya ketika dia sedang mencarikan tempat check in saya, anaknya imut dan ramah.
“Masih amatiran.” Kami bercakap-cakap
sebentar kemudian dia meminta kontakku, hingga sekarang kami masih berhubungan
baik.
Saya sedang mengantri check in ketika
seorang bapak-bapak usia baya menanyakan tujuan saya selama di Lombok. “Kamu
tinggal di mana?”
“Belum tau, pak.”
“Alamatnya sudah ada? Biar saya yang
antar, saya berdua dengan istri saya. Sedang duduk di sana,” katanya sembari
menunjuk istrinya yang sedang duduk. Ah percuma saja menoleh, saya tidak bawa
kacamata.
“Saya belum ada tempat tinggal dan belum
tau mau kemana.”
“Yasudah ikut kami saja.”
“Terima kasih bantuannya, Pak.”
Rejeki anak baik. :)
Comments
Post a Comment