Saya berharap semuanya aman setelah
proses check in kemudian duduk manis di ruang tunggu. Akhirnya saya memilih
duduk di sebelah perempuan berambut keriting yang sedang asyik membaca buku.
Saya berharap dia menjadi teman baru saya. Setelah sekian lama duduk, saya
tidak juga disapa dan menyapa. Dia masih asyik dengan bacaannya, dengan waktu
sepersekian detik dari harapan saya akhirnya orang disebelah saya merapikan
rambut keritingnya. Ternyata dia laki-laki. Hampir 30 menit bersebelahan, tapi
saya sama sekali belum diajak mengobrol. Saya kepikiran untuk pindah mencari
dua orang ibu yang saya bantu di bawah karena barang bawaannya yang banyak.
Tadi kami berpisah ketika pengecekan terakhir tiket, salah satu dari mereka
ketinggalan tiket ketika check in. Dengan terpaksa salah satunya turun lagi ke
bawah dan aku menyerahkan barang mereka.
“Mau kemana mbak?” akhirnya dia bicara.
Sungguh basa-basi yang basi. Kalo saya kopi, mungkin saya sudah dingin. Gak
enak buat diseduh. Tapi seiring lamanya waktu menunggu, akhirnya kami bercerita
banyak tentang perjalanan kami. “Kamu yakin pendaki?” Mendengar pernyataannya
saya hanya melempar senyuman. “Kok badan mu bukan badan pendaki ya. Hebat
banget kecil-kecil bisa mendaki.”
“Kamu orang kesekian yang bilang begitu.”
Namanya Chris, anak Kupang, kuliah di
Institut Seni Indonesia, Jurusan teater, angkatan 2013. Dari dulu dia memang
senang merantau, sekolah di Bandung lanjut kuliah di Jogja. “Kamu salah tempat
duduk ya tadi? Pasti mau pindah ya karena tau saya laki-laki bukan perempuan.”
Orang ini bisa membaca pikiran saya. Kami bercerita banyak selama di ruang
tunggu. Bercerita tentang kuliah kami, terutama saya yang sedang lari dari
skripsi.
Penumpang tujuan Lombok dipanggil ketika
Chris sedang meminta ijin keluar untuk merokok. Saya tidak sempat meminta
kontaknya, tapi beruntungnya saya tau nama dan jurusannya. Itu sudah cukup karena saya kenal
beberapa orang mahasiswa dan dosen di sana. Barang kali saya masih bisa bertemu
dengan manusia lucu ini di Jogja. Manusia yang cukup menghibur ketika saya
bosan berada di ruang tunggu. Saya berharap masih bisa bertemu Chris lainnya di
tempat yang berbeda, orang yang bisa mengajak saya tersenyum dan tertawa.
Ketika berjalan di lorong menuju pintu
pesawat ada seorang Ibu tua yang menanyakan nomor kursinya. Kebetulan sekali
ibu tersebut duduk di sebelah saya. Saya di 11A, beliau di 11B. Saya sudah
biasa bertemu dengan orang-orang seperti ibu ini. Yang tidak pernah malu
bertanya ketika tidak paham.
“Kamu mau kemana nanti nak?” tanya Ibu
sebelah saya.
“Saya mau mendaki Rinjani, Bu.”
“Anak saya juga suka mendaki, biasanya
teman-temannya juga tidur dan tinggal di rumah sebelum mendaki. Kamu sudah ada
tempat tinggal?”
“Belum, Bu. Rencananya saya mau ke
bandara lama Selaparang, ada teman yang mau menjemput. Tapi saya masih bingung, belum pasti.” Saya dan Satria memang
janjian akan bertemu di sana karena menurutnya, tempat tinggalnya dengan
bandara lumayan jauh.
“Kalo begitu ikut saya saja, nanti saya
dijemput bapak. Nanti kami akan lewat sana, biar kami yang antar.”
“Iya, terima kasih bantuannya, Bu.”
Saya selalu suka perjalanan, karena
perjalanan adalah pelajaran. Bertemu orang-orang yang tulus sering kali terjadi
pada saya. Kita harus melakukan perjalanan untuk mengetahui apa yang belum kita
ketahui dan mengenal yang belum kita kenal. Banyak berjumpa dengan orang baru
membuat saya beruntung. Lebih beruntung daripada saya hanya jalan ke mal dan
membeli pakaian ber-merk.
Ngape ndak lanjut nulis gik ni Nyik. Dah lamak nunggu tulisan baru ni. Abng nyimak terus ni...
ReplyDelete